blog ini memuat info kegiatan anak-anak Hukum UIN

makalah n sumber hukum juga ada disni.....

Pengikut

Selasa, Juli 07, 2009

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN


Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan BAB IV yang berisi:

Pasal 13

Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

Pasal 17

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9<>

Pasal 21

(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.

Sementara menurut Kompilasi Hukum Islam pada BAB X pencegahan perkawinan itu adalah sebagai berikut :

(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang - undangan.

Pasal 61

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu ad dien.

“Sekufu” = Sederajat (dalam hal harta , kedudukan , pendidikan dll)

Pasal 62

(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.

(2) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 64

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.

Pasal 65

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai

Pencatat Nikah.

Pasal 66

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 67

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 68

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8 , pasal 9 , pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang no 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 69

(1) Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan surat keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.

(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

3. Prosedur Pencegahan

a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.

b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.

c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.

Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa. Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

Definisi Pembatalan Perkawinan

Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada (Kamus Umum Bahasa Indonesia; Badudu - Zain). Jadi pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.

Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan (pasal 23 UU No. 1 tahun 1974)

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

  1. Suami atau istri;
  2. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  3. Pejabat pengadilan.

Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
  2. Suami atau isteri
  3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
  4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67

Alasan Pembatalan Perkawinan

Perkawinan dapat dibatalkan, bila:

  • Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974).
  • Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama.
  • Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974).
  • Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan)

Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila:

  1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
  2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang);
  3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
  4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974;
  5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
  6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pengajuan Pembatalan Perkawinan

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan (Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan Negeri bagi Non-Muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut.

Cara Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan

  1. Anda atau Kuasa Hukum anda mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73)
  2. Kemudian anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.
  3. Anda sebagai Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125)
  4. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.
  5. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
  6. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan
  7. Setelah anda menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon anda segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).

Batas Waktu Pengajuan

Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan anda sendiri (misalnya karena suami anda memalsukan identitasnya atau karena perkawinan anda terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup bersama sebagai suami istri, maka hak anda untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).

Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami anda yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan anda. Kapanpun anda dapat mengajukan pembatalannya.

Pemberlakuan Pembatalan Perkawinan

Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami anda. Dan berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974).

8. Akibat Hukum

a. Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri.

b. Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.

c. Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :

* Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;

* Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

* Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;

* Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan

orang tua.

d. Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :

(1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.

(2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.

READ MORE - PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

Read more...

Sidang

Sidang

serasi eung

serasi eung

Manglayang

Manglayang

Studi Banding to Jogya

Studi Banding to Jogya

Website saya nilai
Rp 50 Juta

ILMU HUKUM UIN BANDUNG © Layout By Hugo Meira.

TOPO